SURABAYA, Berbagai peristiwa dan kejadian penting mewarnai dunia pendidikan Surabaya selama tahun 2007. Beberapa yang paling menonjol adalah jebloknya nilai Ujian Nasional (Unas) siswa dan banyaknya guru yang tidak lulus sertifikasi. Kondisi tersebut menjadi ironi, mengingat Surabaya adalah kiblat dan barometer pendidikan di Jatim.
Pada 17-19 April 2007 adalah waktu yang membuat jantung siswa berdegup kencang. Selama tiga hari itulah siswa SMA/MA/SMK di Surabaya memeras otak dan pikiran. Mereka harus bisa mengerjakan soal Unas 2006/2007 – bahasa Indonesia, matematika, dan bahasa Inggris. Jika tak bisa mengerjakan, bayangan tidak lulus langsung menghantui. Hal yang sama juga terjadi pada siswa SMP/MTs yang mengerjakan soal Unas seminggu setelah siswa SMA. Tepatnya 24-26 April.
Siswa was-was, karena hasil Unas menentukan kelulusan. Dan untuk lulus, mereka harus mendapatkan nilai minimal 5,00. Rasa was-was itu terbukti. Pada 11 Juni 2007 hasil Unas SMA/MA/SMK resmi diumumkan. Sebanyak 6.575 dari 190.037 peserta Unas di Jatim dinyatakan tidak lulus. Dari jumlah tersebut, 963 siswa berasal dari Surabaya. Peserta Unas di Surabaya sendiri 31.473.
Jebloknya hasil Unas Surabaya berimbas melorotnya peringkat di tingkat regional. Untuk program IPA, Surabaya ada di posisi 10 di antara 38 kabupaten/kota di Jatim. Dengan nilai rata-rata Unas 24,25 dan 299 siswa tak lulus dari 10.924. Posisi pertama malah diraih Gresik dengan nilai rata-rata 25,43 dan hanya 20 dari 2.687 siswa yang tak lulus. Peringkat kedua Pamekasan yang nilai rata-ratanya 25,22 dan ada 3 dari 1.120 siswa tak lulus dan posisi tiga Kabupaten Mojokerto 25,06 dengan 13 dari 1.696 siswa gagal Unas.
Untuk program IPS juga demikian. Surabaya ada di peringkat sembilan dengan nilai rata-rata Unas 22,59 dan 304 dari 9.670 siswa tak lulus. Peringkat pertama kembali diraih Gresik dengan nilai rata-rata 23,95 dan enam dari 2.126 siswa tak lulus. Peringkat kedua Lamongan 23,62 dengan 11 dari 2.867 siswa tak lulus, dan posisi ketiga Pamekasan 23,30 dengan 15 dari 1.268 siswa tak lulus.
Hasil tersebut sangat ironis. Karena kiblat dan barometer pendidikan di Jatim adalah Surabaya.
Seminggu kemudian, tepatnya 20 Juni, mendung hitam di langit pendidikan Surabaya semakin tebal. Ketika hasil Unas SMP/MTs/SMP diumumkan. Surabaya kembali terlempar dari tiga besar. Bahkan posisinya tak masuk 10 besar. Surabaya hanya berhasil menempati peringkat 14 dari 38 kabupaten/kota di Jatim. Nilai rata-rata tiap pelajaran yang diunaskan 22,51 dan 1.171 dari 36.611 peserta Unas dinyatakan gagal. Sementara untuk Jatim, sebanyak 20.293 siswa (4,18 persen) dari total 485.491 peserta dinyatakan gagal Unas. Melihat fakta itu, siswa di Surabaya makin gamang dan was-was menyongsong Unas 2008 yang akan digelar 22-24 April (SMA), 5-8 Mei (SMP), dan 13-15 Mei Unas SD.
Ini tak lepas dari didoknya Permendiknas 33/2007 tentang Unas yang terintegrasi dengan ujian sekolah untuk SD/MI/SDLB dan Permendiknas 34/2007 tentang Unas SMP/MTs/SMPLB, SMA/MA/SMALB dan SMK. Pada Permendiknas itu dijelaskan, Unas perdana untuk SD mulai diberlakukan. Pelajaran yang diujikan tiga – bahasa Indonesia, Matematika, dan IPA. Tapi hasil Unas tidak jadi penentu kelulusan. Berbeda dengan SD, hasil Unas SMP dan SMA tetap jadi penentu kelulusan. Padahal selain passing grade atau batas nilai kelulusan dinaikkan dari 5,00 menjadi 5,25, pelajaran yang diunaskan juga ditambah. Unas SMP yang awalnya tiga pelajaran – bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan matematika – jadi empat ditambah IPA. SMA dari tiga pelajaran sama dengan SMP jadi enam. Program IPA ditambah Fisika, Kimia dan Biologi. Program IPS ditambah Geografi, Ekonomi, dan Antropologi. Program bahasa ditambah bahasa Asing, Sastra Indonesia, dan Sejarah Budaya/Antropologi. Sementara program keagamaan di MA ditambah Ilmu Tafsir, Ilmu Hadis, dan Tasawuf/Ilmu Kalam.
Takut nilainya makin jeblok dan deretan siswa gagal Unas makin membengkak, ratusan siswa asal Surabaya dan Sidoarjo pada 2 dan 5 November lalu ngeluruk kantor Dinas Pendidikan Surabaya. Aksi ini adalah aksi massif pertama yang dilakukan siswa Indonesia mereaksi kebijakan Unas yang dinilai tidak prosiswa.
Dalam tuntutannya, siswa menolak penambahan pelajaran yang diunaskan. Jika tetap ditambah, harus dilakukan bertahap. Kalau tak digubris, siswa mengancam mogok belajar.
Pada 10 Februari atau sekitar sembilan bulan sebelumnya, Aliansi Pendidikan Alternatif Jawa Timur (APAJ) membuat seruan agar semua sekolah berani mengambil sikap tidak mengikuti Unas tahun 2007.
Protes siswa dan APAJ tersebut sesuatu yang wajar. Karena hingga kini, pemberantasan buta huruf di kota metropolis ini baru mencapai 70 persen. Demikian juga dengan perbaikan sekolah atau ruang kelas yang rusak. Dari 1.713 sekolah dengan 14.802 ruang kelas yang dimiliki, yang dalam keadaan baik 12.619, 1.440 ruang rusak ringan dan 743 rusak berat.
Kondisi tersebut diperparah belum merata dan terpenuhinya akses pendidikan bagi setiap masyarakat. Sejumlah kecamatan dari 31 kecamatan di Surabaya hingga kini belum punya SMP, SMA, dan SMK Negeri, misalnya Kecamatan Sawahan dan Kecamatan Gunung Anyar. Sebanyak 42 SMPN, 22 SMAN, dan 11 SMKN yang ada sekarang ini dinilai masih kurang.
Menilai kurangnya perhatian Pemkot terhadap pendidikan, pada 2 Oktober, Gubernur Jatim Imam Utomo mengeluarkan instruksi meminta agar APBD Surabaya 2008 mengalokasikan anggaran untuk membebaskan buta huruf dan sekolah rusak.
Meski tim panitia anggaran pemkot dan DPRD merespons instruksi tersebut. Namun, faktanya, APBD 2008 untuk pendidikan yang digedok sangat kecil. Hanya Rp 172 miliar atau 7,23 persen dari total APBD Surabaya senilai Rp 3,025 triliun. Persentase angka ini masih sangat jauh dari amanat UUD 1945 bahwa anggaran pendidikan harus sebesar 20 persen.
Kondisi tersebut sangat ironis. Karena minimnya alokasi anggaran untuk pendidikan terjadi di tengah kondisi keuangan Surabaya yang melimpah dengan surplus APBD 2007 yang mencapai lebih dari Rp 172 miliar (Surya)
Komentar Terbaru