Jakarta – Sejumlah guru taman kanak-kanak kini ”terpaksa” menekankan kemampuan baca, tulis, dan berhitung kepada siswanya. Ini disebabkan adanya seleksi dan persyaratan siswa harus bisa membaca dan menulis saat masuk sekolah dasar.
Akibat kebijakan ini, guru taman kanak-kanak kurang optimal memprioritaskan upaya merangsang dan mengembangkan potensi anak secara holistik.
Opih R Zainal, Ketua Umum Pengurus Pusat Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia (IGTKI) Persatuan Guru Republik Indonesia, di Jakarta, Selasa (9/3), mengatakan, sebenarnya mengajarkan membaca, menulis, dan menghitung (calistung) tidak dilarang di jenjang pendidikan taman kanak-kanak.
”Asal pengenalan calistung itu dilakukan bukan dengan cara memaksa dan drilling. Banyak cara, misalnya lewat lagu dan permainan, kemampuan baca, tulis dan berhitung anak bisa berkembang dengan baik dan tidak membuat anak stres. Tetapi tetap saja, ada TK yang memfokuskan ke calistung dengan alasan lebih diminati dan memang diminta orangtua,” ujar Opih.
Menurut Opih, adanya sejumlah TK yang lebih berfokus pada penguasaan membaca, menulis, dan berhitung, layaknya belajar di SD, didorong berbagai faktor. salah satunya, saat ini banyak sekolah dasar ( SD) yang memang menuntut siswa kelas I SD sudah mampu menguasai baca, tulis, dan berhitung.
Selain itu, banyak orangtua yang kurang berminat jika di taman kanak-kanak tidak diajarkan membaca, menulis, dan berhitung. Pasalnya, banyak sekolah, terutama sekolah-sekolah favorit yang mengadakan tes membaca, menulis, dan berhitung saat seleksi masuk penerimaan siswa baru.
Les membaca
Prabowo, salah satu orangtua siswa taman kanak-kanak, mengatakan, persaingan untuk masuk ke sekolah dasar favorit saat ini cukup ketat. ”Mau tidak mau, jika anak ingin lolos dan diterima di SD yang diinginkan, anak harus disiapkan sejak TK. Karena itulah TK juga menawarkan les membaca, menulis, dan berhitung yang diadakan seusai jam sekolah,” ujar Prabowo.
Di sisi lain, kata Prabowo, pergeseran sistem pembelajaran di taman kanak-kanak juga mengkhawatirkan orangtua. Pendidik di TK jadi lebih banyak berfokus pada penguasaan intelektual anak. Padahal, mestinya di taman kanak-kanak, pendidikan diarahkan untuk mengasah potensi anak serta membangun karakter dan budaya anak untuk menjadi seseorang yang berkepribadian baik dan cinta belajar.
Noorjanah, juga pengurus Ikatan Guru Taman Kanak-kanak Indonesia, mengatakan, keberadaan TK sudah mulai menjamur di mana-mana karena kebutuhan masyarakat. Untuk TK yang minim sarana dan prasarana bermain, pada akhirnya banyak yang berfokus pada pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung kepada siswanya.
”Kebanyakan di daerah pedalaman atau mereka yang masih minim informasi memang banyak yang membuka TK dengan fokus pembelajaran membaca, menulis, dan berhitung. Tetapi, sekarang ini sudah mulai juga disosialisasi pada pengurus dan pendidik TK untuk bisa mengutamakan nuansa bermain sambil belajar,” kata Noorjanah.
Kementerian Pendidikan Nasional lewat Direktorat Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah sudah mengeluarkan surat edaran kepada gubernur dan bupati/wali kota seluruh Indonesia pada tahun lalu. Isinya soal penyelenggaraan pendidikan TK dan penerimaan siswa SD.
Suyanto, Direktur Jenderal Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan Nasional, mengatakan, pendidikan di TK merupakan persiapan untuk pendidikan lebih lanjut. ”Prinsip penyelenggaraan taman kanak-kanak adalah bermain sambil belajar dan belajar seraya bermain,” ujarnya.
Adapun untuk pengenalan calistung mesti dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan anak. Pendidik TK tidak diperkenankan mengajarkan materi membaca, menulis, dan berhitung sebagai pembelajaran sendiri-sendiri.
Mengenai kebijakan penerimaan siswa SD, diimbau supaya menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk. Penerimaan siswa SD tetap memprioritaskan anak-anak usia 7-12 tahun dari lingkungan sekitarnya tanpa diskriminasi sesuai daya tampung satuan pendidikan yang bersangkutan. (Kompas)
Komentar Terbaru